Selasa, 29 November 2011

PENGUSAHA DAN DUA MENANTUNYA


Pak Ghufron adalah orang terpandang dikampungnya. Dia adalah pengusaha buah-buahan yang sukses. Saking suksesnya, dia berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana di salah satu Perguruan Tinggi terbaik di negeri ini.

Nah, dia punya 2 orang menantu. Salah satunya bernama Fikri adalah alumni sekolah umum, salah satunya lagi bernama Ali yang merupakan lulusan pesantren yang asli Betawi. Kedua menantunya dilibatkan dalam pengelolaan usaha Pak Ghufron. Tentu, masing-masing sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing yang di miliki. Tapi, terdengar isu bahwa kedua menantunya saling bersaing dan berkompetisi cukup serius hingga tersiar kabar bahwa hubungan keduanya gak harmonis.
Demi melihat hal itu, Pak Ghufron berencana mengajak kedua mantunya tersebut bercengkrama dengannya. Akhirnya dipilihlah hari yang tepat buat berkumpul dan ia menyuruh pembantunya untuk mengumpulkan keduanya. Selain berbincang, ia mao mengetes kemampuan menantunya tentang logika.

Setelah menantunya berkumpul bersama, Pak Ghufron mengajukan pertanyaan. “Berapa banyak bintang di langit, wahai Ali?”.
“Wah, gak terhingga, Pak. Banyak banget kaya pasir di pantai”, jawab Ali dengan enteng.
“Nah, menurut kamu bagaimana, Fikri?”, tanya Pak Ghufron.
“Menurut saya, bintang di langit itu banyak. Lebih banyak pasir di pantai”, kata Fikri. Mendengar jawaban itu, Ali langsung menyanggah. “Emang lo tau berape jumlah pasir di pantai dan berape bintang di langit? Emang lo pernah ngitung?”, tanya Ali dengan logat Betawi yang kental.
“Saya tak tahu pasti, saudaraku. Tapi menurut perhitungan ilmiah, jumlah bintang di langit yang kelihatan saja ada 70 sekstilion bintang atau sama dengan 70 trilyun bintang, sementara jumlah pasir di pantai hanya 10 sektilion. Dan itu hanya bintang yang nampak, belum yang tidak nampak. Itulah saya menjawab bintang yang di langit lebih banyak daripada pasir yang ada di pantai,” ujar Fikri menjelaskan panjang lebar.
Mendengar jawaban itu, Pak Ghufran tersenyum. “Bagus.... Bagus....” ujarnya membuat Fikri tersenyum lebar ke Ali. Tentu saja Ali dibikin keki bukan main.

“Nah, sekarang pertanyaan kedua. Saya harap kalian menjawab sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pertanyaannya adalah mengapa pohon bonsai tidak bisa besar dan tinggi, hanya kecil dan pendek terus?”, tanya Pak Ghufran kepada dua menantunya.
Ali pun yang tadi sebel langsung jawab. “Menurut saya, pohon bonsai gak mao tumbuh karena Allah menghendaki pohon bonsai seperti itu, kalo aje Allah menghendaki pohon bonsai tinggi dan besar, ntar juga tuh pohon tinggi dan besar,” ujar Ali dengan mantap.
Tampaknya ia yakin dengan jawaban tadi bisa membuat dan membuat menang Fikri terdiam mati kutu tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Lalu Pak Ghufron meminta Fikri untuk menjawab. “Sekarang apa jawabanmu?”.
“Kalau jawaban saya beda dengan saudaraku,” jawab Fikri.
“Lalu apa jawaban kamu?” tanya Pak Ghufron.
“Jawaban saya yaitu sebab pohon bonsai tidak bisa tumbuh tinggi dan besar dikarenakan pohon bonsai tidak terkena sinar matahari. Pohon bonsai biasanya ditaruh di tempat yang terlindung sinar matahari. Jadi, maklum saja pohon bonsai tidak bisa tinggi dan besar,” ujar Fikri dengan tenang.
Ali yang seksama mendengarkan jawaban saudaranya itu langsung menyangkal sambil berkata, “Saya gak setuju atas jawaban tadi Pak Ghufron.” Lantang Ali bersuara.
“Apa alasan kamu tidak setuju?” tanya Pak Ghufron.
“Sebabnye jawaban yang disampaikan sodaraku ini gak terbukti dalam kehidupan sehari-hari kite. Kalo emang kaya gitu, kenape rambut sama alis yang tiap hari kena matahari kenape gak tumbuh panjang, kok pendek terus? Iye kan?” ujar Ali dengan seru.
“Iya juga ya, kok tetep pendek gak tumbuh-tumbuh?” imbuh Pak Ghufron sambil terheran-heran. Fikri kali ini mati kutu tak bisa menjawab pertanyaan itu lagi.

“Ya Sudahlah! Saya simpulkan ternyata jawaban yang tepat kali ini yaitu jawaban yang gak bisa disangkal lagi, jawaban dari Ali. Jadi skor kalian sama: satu-satu. Kalian memang menantu saya yang hebat, dan akan lebih hebat lagi kalau kalian saling akur.
Sekarang, kalian boleh pergi untuk bekerja lagi. Yang bener ya jangan gak akur.” Ujar Pak Ghufron sambil tersenyum. Ali dan Fikri tersenyum sipu-sipu.